Definisi
Kaligrafi dalam bahasa kita sering diasosiasikan terhadap tulisan Arab. Padahal tidak. Semua tulisan tangan yang indah bisa disebut dengan kaligrafi. Mungkin karena bahasa Indonesia yang tidak mempunyai keaksaraan yang kuat, sehingga tulisan indah dalam bahasa Indonesia hampir tidak ada (tulisan memang ada, tetapi tidak mementingkan unsur keindahan aksara).
Semenjak ditemukan kertas sebagai media, kaligrafi berkembang pesat. Di Tiongkok misalnya, budaya menulis kaligrafi menjadi ciri khas kaum terpelajar. Begitu juga di Jepang dan Eropa. Kaligrafi mengiringi kecermelangan ilmu pengetahuan saat itu. Dengan bermodalkan sebuah kuas dan tinta, para sarjana di Tiongkok menorehkan puisi ke selembar kertas. Catatan-catatan penting di zaman Renaissance juga ditorehkan di dalam sebuah buku.
Sayangnya, perkembangan tulis menulis kemudian bergeser. Sejak memasuki era digital –dengan diperkenalkannya sistem operasi komputer– seolah-olah kaligrafi sudah menjadi barang “jadul” nan usang. Ukuran huruf yang indah dengan komposisi yang sempurna bisa ditorehkan oleh sebuah software. Kemudian hasil out put-nya dicetak menggunakan printer.
Kaligrafi Islam
Kaligrafi merupakan tulisan tangan yang indah sebagai hiasan. Definisi kaligrafi semacam itu sangatlah umum, maka kaligrafi dipersempit lingkupnya menjadi kaligrafi Islam.
Mengapa bukan kaligrafi Arab, toh tulisannya berhuruf Arab?
Sekilas tampaknya, kaligrafi Arab juga tepat. Namun, jika diteliti lebih jauh, ternyata Arab tidak identik dengan Islam. Bahkan, akhir-akhir ini muncul penggemar kaligrafi di tanah Arab dari agama lain yang menuliskan kaligrafi. Sayangnya, banyak yang tidak tahu sehingga “terkecoh” dan menjadikan sebagai hiasan. Padahal, kalimatnya berasal dari kitab suci yang berbeda. Kaligrafi Islam merupakan bahasa yang tepat untuk mengidentikkan kaligrafi dengan Islam.
Dalam bahasa Arab, kaligrafi disebut khath. Sedangkan penulisnya dinamai khattath. Dalam buku khat sendiri, definisi kaligrafi diperjelas.
Proporsi huruf itu sendiri dirumuskan sedemikian rupa dalam sebuah buku yang ditulis oleh para kaligrafer-kaligrafer ternama dengan menggunakan metode titik. Seperti huruf alif dalam naskhi, tingginya tidak labih dari
Kaligrafi Murni
Istilah ini muncul tidak lepas dari perkembangan kaligrafi kontemporer, di mana huruf bukan menjadi sesuatu yang utama, tetapi juga keindahan yang merupakan unsur dari kaligrafi itu sendiri. Kaligrafi pada awalnya merupakan seni memadukan huruf dengan jenis tertentu sesuai dengan kaidah akhirnya “keluar jalur” tanpa memedulikan kaidah
Seolah merupakan kaidah
Kaligrafer murni “terakhir” Hasyim Muhammad Al Khattahath menerapkan kaidah kaligrafi dalam sebuah buku panduan yang cukup terkenal bernama Qawaidul Khath Al Arabiy. Buku ini beredar luas di Timur Tengah, akhirnya sampai di pondok pesantren di
Di pondok pesantren, buku kaidah ini cukup terkenal. Seperti di Pondok Pesantren Modern Darussalam, Gontor, misalnya, karya monumental itu dicetak kembali secara internal dan di pelajari oleh para santri yang tergabung di Aklam, Assosiasi Kaligrafer Darussalam, kelompok belajar kaligrafi. Di Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif –yang terletak di Denanyar, Jombang– juga ada AKSARA dan SAKAL.
Banyak sekali sanggar-sanggar kaligrafi yang mengajarkan khat murni. Namun banyak pula yang akhirnya “keluar jalur” setelah “bosan” mempelajari kaidah-kaidah yang “kaku”.
B. Huruf
Awalnya adalah coretan, kemudian mengalami pergeseran. Huruf timbul setelah evolusi simbol. Bukan lagi spesifik, tapi bisa dirangkai menjadi bermacam-macam “kalimat”. Ketika huruf-huruf ini terangkai, tentu Anda kemudian bisa membaca. Tanpa huruf, mustahil “kalimat” saya bisa tersampaikan.
Namun tidak sesederhana itu akhirnya. Meskipun huruf sudah “ditemukan”, akhirnya menemukan ruang untuk mempercantik bentuk. Dari sanalah muncul bermacam-macam corak, meskipun hurufnya sama. Dalam kaligrafi juga demikian.
Huruf “H” tanpa terangkai dengan “uruf” bukanlah apa-apa. Kecuali memang dimaksudkan untuk membuat seseorang bertanya-tanya.
Kalimat “Jangan buang sampah sembarangan” misalnya, yang tertulis di sebuah halaman sekolahan akhirnya menjadi penyampai bahwa di halaman tersebut seseorang dilarang membuang sampah seenaknya sendiri. Yang bisa membaca mudah mengerti. Yang belum, perlu “dipertanyakan lagi”.
Huruf menggantikan simbol yang memiliki bermacam-macam makna. Huruf menyampaikan bahasa.
Setelah melewati fungsi huruf, bentuk menjadi bagian lain yang memperkuat penyampaian. Jenis satu dengan yang lain mempunyai karakter berbeda. “Jangan buang sampah sembarangan” tertulis arial, mudah dibaca, bukan dengan huruf latin yang mempunyai karakter lembut.
Huruf Arab jenis kufi misalnya, memiliki karakter kotak-kotak (kubisme) yang memberi kesan kokoh. Kelenturan diwani, dan goresan farisi memberi keluwesan dalam menyampaikan makna dalam tulisan. Dari keperluan fungsi penyampaian akhirnya muncul bermacam-macam bentuk dan
الخط هندسة روحانية ظهرت بألة جسمانية (ياقوت المستعصمى)
Banyak istilah yang menjabarkan tentang kaligrafi. Seperti menurut Yaqut Al-Mushta’shimi, kaligrafer kenamaan periode Turki Utsmani, menyebut bahwa kaligrafi merupakan ilmu hitung ruhaniyah (bersifat ruhani) yang tampak dengan alat jasmani.
Ubaidillah Ibn Abbas menyebut kaligrafi sebagai “lisanul yadd” alias lidahnya tangan. Mengapa disebut lidahnya tangan? Karena dengan kaligrafilah tangan dapat “berbicara”, menyampaikan sebuah ungkapan yang ditulis lewat media.
Dalam kitab Irsyad Al Qoshid, Syaikh Syamsuddin Al Akhfani menyebut: Kaligrafi adalah suatu ilmu yang memperkenalkan bentuk-bentuk huruf tunggal, letak-letaknya, dan cara-cara merangkai menjadi sebuah kalimat tersusun. Atau apa-apa yang ditulis di atas garis-garis, bagaimana cara menulisnya dan menentukan mana yang tidak perlu ditulis; menggubah ejaan yang perlu digubah dan menentukan cara bagaimana untuk menggubahnya.
Rincinya, kaligrafi adalah ilmu yang mempelajari bermacam-macam bentuk huruf tunggal (mufrad) dan tata letaknya serta metode merangkainya menjadi susunan kata atau cara menuliskannya di atas kertas atau media lainnya.
Drs H Didin Sirajuddin A.R., tokoh kaligrafi tanah air, memberi kesimpulan: arti seutuhnya kaligrafi adalah kepandaian menulis elok dalam bahasa Arab yang dikenal dengan khat –garis atau tulisan indah.
Untuk detail huruf, mungkin akan dijelaskan dalam posting yang berbeda.
Selain kaligrafi murni, dalam dunia kaligrafi juga mengenal lukis kaligrafi. Meski terkesan mendikotomi, lukis kaligrafi tidak lebih hanya sebuah perkembangan media yang tidak hanya “terpenjara” di atas kertas. Tidak hanya di tanah air, lukisan di Timur Tengah juga telah banyak mengambil objek-objek huruf sebagai bagian yang utama.
Lukis kaligrafi adalah sebuah lukisan dengan mengambil objek huruf-huruf Arab. Biasanya mengambil ayat-ayat Alquran maupun hadist yang diiringi background seirama. Kadang objek kaligrafi hanya sebagai pelengkap, dan kadang merupakan kaligrafi berhias sebuah objek. Tidak bisa diproporsikan persentase objek kaligrafi dan lukis itu. Ketika sebuah lukisan ada objek huruf Arab yang merangkai kalimat ayat maupun hadist, maka lukisan tersebut bisa dikatakan lukis kaligrafi.
Seperti “Samudra Fatihah” yang pernah dilukis oleh Didin Sirajuddin misalnya, kaligrafi
Lukis kaligrafi pun bisa menerapkan kaligrafi murni. Seperti Didin Sirajuddin misalnya, kerap menerapkan kaligrafi murni dalam media lukisnya. Lain halnya dengan Amang Rahman misalnya, beliau sudah terkenal dengan lukisan batiknya. Amang Rahman melukis kaligrafi dengan tanpa memperhatikan kaidah
Di tanah air, banyak “aliran” lukis kaligrafi terkenal. Seperti A.D. Pirous, Amang Rahman, dan masih banyak yang lainnya. Seolah memiliki “trade mark” tersendiri, satu dengan yang lainnya mempunyai karakter berbeda ketika membuat sebuah lukisan kaligrafi.
Di luar negeri, khususnya di Timur Tengah, lukis kaligrafi merupakan bagian dari kaligrafi kontemporer. Biasanya, kaligrafi jenis ini menampilkan objek-objek huruf yang tidak “terpatok” pada arti. Namun huruf bisa berdiri sendiri.
Lukis kaligrafi memiliki keunikan tersendiri karena seni lukis dan bentuk huruf saling melengkapi. Dan, lengkaplah keindahan tertanam dalam sebuah objek lukisan.
Risalah Tauhidi dalam Kaligrafi
Dalam buku Ekspresi Seni Kaligrafi karangan Aklaman disebutkan, bahwa perkembangan kaligrafi dalam Islam sejak awal menunjukkan keeratan dengan Alquran. Hal itu mengingat bahwa semangat kaligrafi juga merupakan semangat melestarikan Alquran. Bahkan, Alquran ditulis dengan kaligrafi elok dengan ukiran emas.
Kaligrafi mempunyai makna-makna yang sangat kompleks seperti yang ditunjukkan oleh naskah yang ditulis Attauhidi, seorang penulis besar zaman Abbasiyah.
Nilai-nilai tersebut adalah:
Pertama, kaligrafi dianggap sebagai refleksi kebijaksanaan dan kualitas kesempurnaan manusia.
Abbas berkata: tulisan tangan adalah lidah tangan.
Atau misalnya lagi dikatakan,
“Qalam adalah kebijaksanaan yang utama. Tulisan tangan adalah keutamaan qalam. Gagasan adalah karunia yang indah dan intelek, dan eloknya
Kedua, kaligrafi juga dianggap sebagai intelek –yang juga disebut beberapa kali– seperti yang disebutkan Hisyam bin Al Ahkam:
Tulisan tangan adalah perhiasan yang ditampakkan oleh tangan dari emas murni intelek. Ia juga adalah kain sutera yang ditenun oleh qalam dengan benang kepiawaian.
Sementara itu, Bisyr ibn Al Mu’tamir berkata:
“Batin adalah tambang, intelek adalah mineral yang mulia, lidah adalah pekerja tambang, qalam adalah tukang emas, dan tulisan tangan adalah benda perhiasan yang telah jadi.”
Ketiga, kaligrafi di pihak lain merupakan perpaduan antara pikiran dan perasaan, kualitas intelek dan intuisi.
Abdul Dulaf Al’Ijli misalnya pernah berkata,
“Qalam adalah tukang emas perkataan. Ia mencairkan dan mengungkap isi hati, dan menampakkan batang-batang bagian tubuh di mana pikiran dan perasaan bermuara.”
An Namari suatu saat berkata,
“Qalam dan hewan-hewan beban bagi akal, kurir bagi fakultas-fakulas alamiah dan bagian tubuh yang utama di mana pikiran dan perasaan bermuara.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
aku butuh comment-mu friends, biar lebih seru, gitu.